Saturday, June 30, 2018

My DIY Wedding Part 2: Planning + Evaluation


Melihat tulisan-tulisan sebelumnya di blog ini, saya jadi malu. Pembukanya sama semua, haha. Kalau bukan 'hai' atau 'halo', ya kalimat dengan tanda seru di belakangnya. Namun itulah yang menjadikan kita semua manusia--berkembang dan selalu belajar.

Seperti di Part 1, karena tujuan saya berbagi, jadi semua informasi di postingan ini tidak berlaku sebagai patokan. Ada yang DIY wedding-nya 100%? Ada! Ada yang DIY wedding-nya cuma direncanakan dalam waktu tiga bulan? Ada juga. Semua tergantung kemampuan masing-masing calon pengantin dan keluarga. Untuk pernikahan saya dan suami sendiri, kami mempersiapkannya dari satu tahun sebelumnya karena suami harus pergi dinas ke Banyuwangi sementara saya masih di Bandung. Keuangan dan segala macamnya juga tidak strict, karena alhamdulillah selama persiapan ada saja bantuan yang datang, entah itu dari keluarga atau teman. Jadi jujur saja kalau ditanya berapa budget-nya, kami bingung, hahaha. Yang ini jangan ditiru, ya. Saya pernah lihat beberapa utas di Twitter yang membicarakan budget wedding dengan lebih rinci bahkan sampai menyertakan spreadsheet segala. Kalau di sini, kita fokus ke DIY-nya saja, ya :D

(Dibaca-baca lagi... dengan pembuka kayak tadi... kenapa jadi kerasa formal banget? Haha)

Sebelum masuk ke rencana--ingatlah bahwa pernikahan itu magical. Jadi, jangan heran ketika di tengah persiapan ada saja kejutan-kejutan menarik yang membuat pernikahan jadi tak terlupakan. Don't stress out too much, fokus ke yang penting, dan saat hari itu datang, nikmatilah. Yang melenceng dari perkiraan tetap saja ada, tapi kalau sudah bersatu dengan orang tercinta, apa pun akan kelihatan indah, kan? Haha giung banget ini!

RENCANA

Karena dari awal sudah memutuskan untuk men-DIY beberapa hal, kami lalu membagi kategori: mana yang bisa di-DIY, mana yang sebaiknya menggunakan vendor. Buat kami, apa saja yang di-DIY bisa dilihat di sini. Perencanaan ini dibuat sejalan dengan menyusun daftar acara dan 'panitia' atau person in charge yang nantinya akan bertugas.

Biasanya pernikahan itu membutuhkan apa saja, sih? Lagi-lagi, ini tergantung kebutuhan. Keluarga kami sepakat untuk menggelarnya tanpa adat, jadi acaranya hanya akan ada akad dan resepsi. Nah, dari sini dipecah lagi, apa saja yang dibutuhkan selama akad dan resepsi. Namun memang ada beberapa yang penting dan umum, contohnya:

- Venue/Tempat diselenggarakannya acara
- Katering
- Dokumentasi
- Dekorasi

Buat kami, empat hal itu yang dipikirkan pertama kali. Dan yang tidak/kurang bisa di-DIY.

(I mean, how can you build your own venue?)

Tapi kan, dekorasi bisa bikin sendiri juga? Tentu, makanya kami urutkan lagi mulai dari yang tidak bisa dikompromi hingga yang bisa ditambah-tambah sendiri. Urutannya jadi: Katering-Gedung-Dokumentasi-Dekorasi. Kita bahas yang tiga pertama dulu ya, mengapa harus non-DIY.

KATERING
Pernah datang ke kondangan, kan? Siapa yang sering kamu lihat berlalu-lalang selain tamu? Petugas katering. Yang satu ini memang sebaiknya menggunakan jasa, karena ada 'seni'nya tersendiri dalam menjamu sebanyak itu. Resepsi pernikahan, selain untuk mengumumkan, juga sering dilihat sebagai bentuk rasa syukur karena kedua keluarga telah dipersatukan, jadi pastikan kateringnya memuaskan dan mencukupi porsi tamu yang datang.

GEDUNG
Tadinya, kami ingin pernikahan digelar di rumah saja. Selain murah, dekornya juga nggak akan macam-macam. Namun satu minusnya pernikahan di rumah adalah tidak ada jam selesai, yang artinya tamu bisa saja datang sampai malam, dan kami jadi harus menjamu. Jadi kami mencari gedung yang terjangkau dan punya ruang parkir yang cukup. Dengan adanya halaman parkir, tamu juga lebih nyaman untuk datang dan cepat sampai di gedungnya.

Saran saya, kalaupun berencana menggelarnya di halaman rumah, pastikan saja ada tempat parkirnya. Salah satu yang akhirnya membatalkan rencana kami menikah di rumah adalah itu, karena jalan masuk ke rumah cenderung sempit dan tidak ada cukup ruang untuk parkir.

DOKUMENTASI
Awalnya saya tak menyangka ini jadi faktor 'utama' yang tidak bisa didebatkan lagi selain harus menyewa jasa profesional. Namun setelah riset di internet, saya justru menemukan hire a good photographer jadi yang paling disarankan pengantin dan artikel wedding. Seperti katering, fotografi pernikahan juga punya seninya tersendiri, seperti bagaimana cara menangkap momen yang cepat berlalu seperti akad (serius, kamu nggak akan kerasa tahu-tahu sudah jadi istri orang saja!), sungkeman, dan post-wedding dengan latar ciamik. Ini terbukti di pernikahan kami. To be brutally honest, kami hanya menyewa gedung serbaguna milik RW, dengan dekorasi pelaminan yang paling sederhana, pemandangan sekeliling yang kebanyakan rumah warga, dan tentunya ruang yang terbatas. Kalau bukan profesional yang memotret, mungkin saja di belakang kami ada anak kecil lari-lari atau orang lewat sekelebat, atau dinding mengelupas (haha), atau kekurangan lainnya. Dengan menyewa jasa fotografi, dari tempat sesederhana itu, bisa dibilang kami puas dengan hasilnya yang menonjolkan detail (terutama DIY-nya) dan fotogenik. Briefing dengan fotografernya juga penting ya, agar kita bisa menyampaikan maksud kita, ingin hasil foto yang seperti apa.

Foto ini diambil persis di sebelah pelaminan, dan sebetulnya di sekitar kami sedang ramai. Tapi nggak kelihatan, ya? :D
Detail seperti sepatu yang saya pakai juga diabadikan oleh fotografernya. Yang ini diambil di taman samping rumah.

Namun, kami tidak menyewa videografer. Menurut beberapa kerabat yang sudah menikah, mereka semua bilang video tidak akan dipakai atau ditonton lagi, haha. Harganya pun lumayan. Foto tetap ada, tapi jika kamu tipe yang suka menonton video dan ada budget-nya, boleh saja berinvestasi untuk merekam momen sekali seumur hidup ini.

Dari tiga elemen penting ini, sesungguhnya dokumentasi jadi yang bisa paling ditekan budget-nya, loh. Banyak jasa fotografi yang menawarkan paket hemat dan terpisah, jadi kita bisa pilih, misalnya tanpa pre-wedding, hanya dapat satu album atau satu flashdisk berisi soft file fotonya, tanpa print bingkai, dll. Sudah banyak juga yang 'islami', contohnya yang mau melayani foto saat acara dan post-wedding saja. Jadi, jangan khawatir! Yang punya kenalan fotografer juga siapa tahu bisa dimudahkan, hehe. 

DEKORASI
Buat dekorasi yang penting, kami sepakat hanya menyewa tenda dan panggung pelaminan. Dekorasi katering sudah dari sananya, sementara detail lain membuat sendiri. Di Indonesia, menyewa tempat terbuka yang gratis/terjangkau seperti taman rasanya belum ada, ya. Padahal kalau bisa menggelar di taman publik atau taman nasional seperti yang terjadi di luar negeri, budget di dekorasi bisa ditekan karena sudah ada pemandangan yang bagus :D

Kalau katering, gedung, dokumentasi, dan dekorasi utama sudah, baru deh menentukan apa saja yang di-DIY. Buku tamu, hiasan dinding, photobooth, aksesoris, baju, suvenir... the options are endless!

EVALUASI

Fast forward ke pascapernikahan digelar, dekorasi dilepas dari gedung, katering packing, dan semua orang kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat. Alhamdulillah semuanya lancar. Namun... apa ada yang tertinggal? Tentunya. Ada saja rencana yang saat hari-H tidak dilaksanakan, atau yang sengaja dihapus, atau yang terlupa.

Karena kita bahas DIY di sini, jadi saya ceritakan yang tidak berhasil di-DIY saja, ya. Namun sebetulnya tanpa itu pun acara tetap berlangsung, kok. Cuma saya teringat sebelumnya betapa 'ambisius'nya saya untuk membuat atau merencanakan DIY itu, haha. Ada beberapa yang ingiiiin sekali saya buat sendiri, tapi akhirnya jadi beli atau tidak dilakukan, yaitu:

- Aksesoris (flower crown dan boutonniere). Pengin banget rasanya bikin sendiri, tapi takdir berkata lain karena baru bisa bikin-bikinnya setelah nikah ^^" tapi alhamdulillah setelah kepo di Instagram, akhirnya menemukan pengrajin yang cocok dengan aksesoris yang saya mau dan ternyata tinggalnya dekat dengan rumah! Mbaknya baru saja pindah dan ketika saya ke sana rasanya seperti menemukan harta terpendam: supplies-nya banyak bangeeet. Jadilah di sana sekalian pilih bunga dan warnanya, juga beli aksesoris lain seperti headpiece (yang akhirnya dipakai adik saya) dan buket calla lily.

-  Makeup. Dari awal ingin bisa makeup sendiri di hari nikahan, karena selain menekan budget, juga bisa sesuai selera (I want bold lipstick for my wedding!). Namun kalau dilihat lagi saya bersyukur bisa bertemu MUA serbabisa dengan harga yang dinego dan tetap terlihat wedding-nya. Emak saya yang mencarikan MUA-nya, yang ternyata juga ibu RW (masih muda, loh!). Wedding veil, tiara, bros, sampai dalaman kerudung juga dipinjamkan. Dan sekarang mungkin saya akan menyesal kalau jadi pakai lipstik bold warna plum di hari nikah... haha.

- Wedding program. Kalau lihat-lihat di situs wedding luar negeri, mereka biasanya punya acara atau games atau pojok lucu-lucuan yang DIY-able banget, seperti wedding wishes buat pengantin, coloring page buat anak-anak, atau stiker lucu-lucu. Sebetulnya saya sendiri sudah bikin template buat coloring page karena akan mengundang anak murid, tapi ketika mendekati hari-H malah terlupakan. Alhamdulillah ada bunga-bunga kertas yang bisa diambil, dan benar saja--ketika acara selesai, bunga-bunga itu sudah habis diambil anak-anak, haha.
Coloring page yang nggak jadi dicetak, drawn by yours truly

LAIN-LAIN

Demi menghemat pengeluaran, selain DIY, ada pula yang di-tone down seperti musik. Kami tidak memakai live music karena 1) tempatnya tidak cukup, 2) tidak bisa menemukan wedding band yang memainkan lagu-lagu kesukaan saya, haha. Belajar dari salah satu teman yang juga budget wedding, mereka menggunakan playlist MP3 biasa yang diputar lewat sound system. Jadilah All Time Low, Tonight Alive, Yellowcard, dan Mae mengalun di pernikahan kami :D saya pilih versi akustiknya agar sesuai dengan mood nikahan. Oh ya, untuk musik saya dibebaskan memilih oleh suami, asal satu pilihan dia juga masuk, yaitu Careless Whisper-nya WHAM!. Berhubung arti lagunya malah patah hati, akhirnya saya hapus (maaf ya bapake, hehe).

Ngomongin musik dan Careless Whisper, ada yang lucu--salah satu murid saya janji mau memutarkan Careless Whisper di nikahan kami dan ya, dia mengeluarkan ponselnya dan mulai memutar Careless Whisper di depan semua orang -_- (perihal bagaimana dia bisa tahu lagu itu, saya kurang tahu. Mungkin dari orangtuanya yang senang film Deadpool).

Satu lagi; bukan yang bisa/tidak bisa di-DIY atau yang diminimalisasi, tapi yang berbeda dari kebiasaan di nikahan. Pelaminan kami urutannya bukan orangtua-pengantin-orangtua, tapi pengantin-orangtua-orangtua. Ya, kami menyapa tamu lebih dulu dan arrangement ini harus sampai dijelaskan oleh MC-nya ^^" Jadi kami yang repot menyambut tamu dan berdiri sementara kedua orangtua kami mengobrol seolah di lounge, haha. Kami sih, tidak keberatan.

Jadi, begitulah pernikahan kami satu tahun yang lalu (nggak kerasa, ya...). Lagi-lagi, semuanya tergantung pengantin dan keluarganya, seleranya seperti apa, apa saja yang penting untuk mereka, dan itu berpengaruh ke sektor mana mereka harus lebih mengeluarkan uang dan mana yang bisa dihemat. Teman saya lebih memilih mengadakan pernikahan di hotel yang sudah fixed harganya dan paketan, ada juga yang di rumah dan menyewa panggung. Namun ingat, apa pun yang dipilih, tetap ada konsekuensinya, misalnya jumlah tamunya harus terbatas, atau disediakan jalan yang aman dari tempat parkir ke gedung, atau dekorasi yang seperlunya. Asalkan kita bisa menerimanya dan menikmati momen itu, maka semuanya akan baik-baik saja :)

Selamat berunding, berencana, dan ber-DIY, ya! Semoga pernikahannya lancar dan diberkahi <3 At the end of the day, it's about you and your beloved ones. Kalau ada orang lain yang 'nyinyir' kenapa ngundangnya sedikit, atau nggak ada zuppa soup-nya, atau kok nggak pakai adat, biarkan saja. Suami setuju, keluarga inti setuju, sisanya hanya bisa kita minta untuk nikmati saja. Ya, nggak?

No comments:

Post a Comment